Potret Regulasi Pengadaan Dari Masa Ke Masa
Admin | 13 September 2025 | Dibaca 65 kali |

Oleh : Iksan M. Saleh *)

"Perubahan regulasi lama ke regulasi baru di bidang pengadaan barang/jasa mungkin ramuan masaknya berbeda dengan sebelumnya, akan tetapi memiliki tujuan yang sama guna memenuhi kebutuhan barang/jasa dengan cara yang lebih baik"

 

Sekitar beberapa bulan lalu atau tepatnya di akhir bulan April 2025, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani perubahan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Setelah kurang dari 200 hari atau tepatnya 192 hari sejak dilantik Bapak Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, atau setelah kurang dari 4 tahun ditandatangani atau setelah 1548 hari kemudian setelah diundangkan perubahan pertama peraturan presiden yang mengatur pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan mempertimbangkan guna meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mempercepat pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah guna optimalisasi kemanfaatan anggaran belanja pemerintah, dan mengatur Pengadaan Barang/Jasa desa, maka ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Bagaimana perkembangan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah dari waktu sebelumnya hingga saat ini? Penulis akan mencoba menguraikan dalam narasi historis berikut ini.

Sebelum tahun 2000, regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia masih merupakan rezim Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena pengadaan barang/jasa pemerintah masih diatur secara bersama dalam Keputusan Presiden tentang APBN. Jadi belum ada regulasi khusus atau berdiri sendiri yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Regulasi pengadaan barang/jasa diatur secara tersendiri setelah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilantik menjadi Presiden yang ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah yang ditetapkan dan diundangkan pada Lembaran Negara Nomor 15 tanggal 21 Februari 2000 di era reformasi.

Berikut potret regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah sejak tahun 1980 hingga saat ini.

 

1. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984

Sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 ini, ada Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara di era Presiden Soeharto.

Setelah mencabut Keppres Nomor 14A Tahun 1980 dan perubahannya, Presiden Soeharto mengganti dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 1984.

Dalam regulasi ini, pelaksanaan pemborongan/pembelian dapat dilakukan melalui: 1) pelelangan umum; 2) pelelangan terbatas; 3) penunjukan langsung; dan 4) pengadaan langsung.

Regulasi ini mengatur bahwa pelaksanaan pemborongan/ pembelian yang berjumlah: 

a. Sampai dengan Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dilakukan secara pengadaan langsung oleh Kantor, Satuan Kerja, atau Proyek diantara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah; 

b. Di atas Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) dilakukan secara pengadaan langsung dengan Surat Perintah Kerja (SPK) dari satu penawar atau lebih di antara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah yang tercatat dalam daftar yang dibuat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II; 

c. Di atas Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dilakukan berdasarkan penunjukan langsung dengan Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat perjanjian/Kontrak, di antara sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar golongan ekonomi lemah yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM).

d.  Pelelangan pemborongan/pembelian yang berjumlah di atas Rp20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dilaksanakan dengan surat perjanjian/kontrak berdasarkan pelelangan umum atau pelelangan terbatas.

e. Perubahan atas batas jumlah nilai pemborongan/pembelian dilakukan oleh Menteri Keuangan. Pelaksanaan pemborongan/ pembelian diatur pada ketentuan dalam Lampiran I regulasi ini.

Pengadaan barang/jasa pemerintah saat itu masih di bawah rezim Kementerian Keuangan. Untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pemborongan/ pembelian di lingkungan Departemen/ Lembaga baik melalui pelelangan maupun penunjukan langsung, dibentuk Tim Pengendali Pengadaan Barang.

 

2. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994

Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan dan diundangkan pada 22 Maret 1994 juga di era Presiden Soeharto, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1999 yang ditetapkan dan diundangkan pada 11 Januari 1999 di era Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Dalam pasal 21 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994, disebutkan bahwa Pelaksanaan pengadaan barang/jasa dapat dilakukan melalui: a) pelelangan umum; b) pelelangan terbatas; c) pemilihan langsung; dan d) pengadaan langsung. Regulasi ini memperhatikan rekanan golongan ekonomi lemah.

Departemen/Lembaga dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

a.  Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan/potensi nasional;

b.  Untuk yang bernilai sampai dengan Rp50.000.000,-  (lima puluh juta rupiah) dilaksanakan oleh rekanan golongan ekonomi lemah setempat dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (7) huruf a sampai dengan c dan Pasal 22 Ayat (1);

c.  Untuk yang bernilai di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) diadakan pelelangan antara rekanan golongan ekonomi lemah setempat;

d.  Untuk yang bernilai di atas Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) diadakan pelelangan antara rekanan setempat dengan memberikan kelonggaran kepada rekanan golongan ekonomi lemah sebesar sepuluh persen di atas harga penawaran yang memenuhi syarat di antara peserta yang tidak termasuk dalam golongan ekonomi lemah;

e.  Untuk yang bernilai di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) diadakan pelelangan antara rekanan setempat;

f.   Untuk yang bernilai di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) diadakan pelelangan antara rekanan setempat;

g.  Untuk yang bernilai di atas Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) diadakan pelelangan di antara rekanan;

h.  Dilarang memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa bagian dengan maksud menghindari ketentuan pelelangan.

Selain itu juga disebutkan bahwa perubahan atas batas jumlah sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh Menteri Keuangan. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam Lampiran I, II, dan III Keputusan Presiden ini. Pengadaan barang/jasa pemerintah hingga tahun 2000 masih di bawah rezim Kementerian Keuangan.

 

3. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000

Pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum tahun 2000, masih merupakan rezim Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena pengadaan barang/jasa pemerintah masih diatur secara bersama dalam Keputusan Presiden tentang APBN atau belum ada regulasi khusus atau berdiri sendiri yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Regulasi pengadaan barang/jasa diatur secara tersendiri ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah yang ditetapkan dan diundangkan pada Lembaran Negara Nomor 15 tanggal 21 Februari 2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid.

Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam Keputusan Presiden ini diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan Keputusan Bersama Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Keuangan.

Pengadaan barang/jasa pemerintah saat itu masih di bawah atau berdasarkan kolaborasi Bappenas dan Kementerian Keuangan.

 

4. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003

Setelah lebih dari 3 tahun Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa berlaku, di era Presiden Megawati Soekarnoputri Keppres ini dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditetapkan dan diundangkan pada lembaran negara nomor 120 tanggal 3 Nopember 2003.

Dalam regulasi ini di Pasal 50 diamanatkan bahwa pengembangan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan oleh suatu lembaga yang dinamakan Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LPKPP) yang harus sudah terbentuk paling lambat pada tanggal 1 Januari 2005. Sebagai bagian dari komunitas global, keberadaan lembaga ini diharapkan dapat menyamakan standar dengan lembaga serupa di negara lain seperti Office of Federal Procurement Policy (OFPP) di Amerika Serikat, Office of Government Commerce (OGC) di Inggris, Government Procurement Policy Board (GPPB) di Filipina, Public Procurement Policy Office (PPPO) di Polandia, dan Public Procurement Service (PPS) di Korea Selatan.

Langkah-langkah persiapan pembentukan LPKPP dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 

Lembaga ini kemudian diberi nama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang secara resmi dibentuk pada tanggal 6 Desember 2007 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007. Sebagai lembaga pemerintah nonkementerian, LKPP langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 ini telah dirubah sebanyak 7 (tujuh) kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

 

5. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Setelah kurang dari 7 tahun Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 berlaku dan telah dirubah sebanyak 7 kali, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Keppres ini dicabut dan diganti dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2010 atau 2 hari setelah Presiden meresmikan perpindahan ibukota Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi pada hari Rabu tanggal 4 Agustus 2010 yang ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Presiden dipusatkan di Lapangan Ngaralamo Ternate.

Regulasi ini telah dirubah sebanyak 4 (empat) kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

 

6. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018

Setelah kurang dari 8 tahun Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berlaku dan telah dirubah sebanyak 4 kali, di era Presiden Joko Widodo, Perpres ini dicabut dan diganti dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditetapkan pada tanggal 16 Maret 2018 dan diundangkan pada lembaran negara nomor 33 tanggal 22 Maret 2018.

Perpres ini diterbitkan dengan mempertimbangkan beberapa hal di antaranya bahwa guna mewujudkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang memiliki peran penting dalam mendukung peningkatan pelayanan publik dan pengembangan usaha nasional, maka perlu pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang memberikan value for money dan kontribusi dalam peningkatan penggunaan produk dalam negeri, peningkatan peran Usaha Kecil, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, bahwa Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan Pemerintah mengenai aturan Pengadaan Barang/Jasa.

Perpres baru ini mengatur hal yang bersifat normatif sehingga hanya terdiri dari 15 bab dengan sekitar 94 pasal dan menghilangkan bagian penjelasan dengan memperjelas norma, bandingkan dengan regulasi sebelumnya yang mencapai 19 bab dengan 139 pasal. Regulasi ini disederhanakan dengan hanya memuat aturan umum, sedangkan hal-hal yang bersifat prosedural dan teknis akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Peraturan LKPP) dan peraturan Kementerian sektoral lainnya.

Banyak perubahan fundamental yang terdapat dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018 ini meliputi perubahan istilah, perubahan definisi dan perubahan pengaturan. Perubahan itu di antaranya perubahan pengertian pengadaan, perubahan istilah Unit Layanan Pengadaan (ULP) menjadi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (UKPBJ) yang memiliki peran lebih luas di antaranya melakukan pembinaan, pemilihan penyedia dan pengelolaan sistem informasi, lelang menjadi tender, penambahan jenis swakelola, perubahan tugas pokok dan kewenangan beberapa organisasi pengadaan, penyederhanaan persyaratan bagi penyedia, perubahan nilai pengadaan langsung, pengadaan dalam rangka penanganan kondisi darurat, diberlakukannya kembali jaminan penawaran untuk pekerjaan konstruksi dengan nilai di atas 10 milyar, jaminan sanggah banding, serta banyak lagi perubahan yang ada di dalamnya.

Perpres ini juga terdapat beberapa hal baru di antaranya : (1) tujuan pengadaan; (2) agen pengadaan; (3) konsolidasi pengadaan; (4) pelaksanaan penelitian; (5) Layanan Penyelesaian Sengketa (LPS) yaitu layanan pemberian pendapat hukum dan layanan penyelesaian sengketa kontrak sebagai alternatif penyelesaian sengketa selain penyelesaian di pengadilan dan arbitrase yang telah ada; (6) e-reverse auction yaitu metode penawaran harga secara berulang yang dapat digunakan pada tender cepat dan sebagai tindaklanjut tender yang hanya terdapat 2 (dua) penawaran; dan (7) pekerjaan terintegrasi.

Setelah kurang dari 3 tahun ditandatangani atau setelah 1049 hari kemudian setelah diundangkan, dengan mempertimbangkan penyesuaian pengaturan penggunaan produk/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi, dan pengaturan pengadaan jasa konstruksi yang pembiayaannya bersumber dari APBN/APBD dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk kemudahan berusaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan penyesuaian ketentuan Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa, maka tepat tanggal 2 Februari 2021 ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Setelah kurang dari 200 hari atau tepatnya 192 hari sejak dilantik Bapak Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, atau setelah kurang dari 4 tahun ditandatangani atau setelah 1548 hari kemudian setelah diundangkan perubahan pertama peraturan presiden ini, dengan mempertimbangkan guna meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mempercepat pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah guna optimalisasi kemanfaatan anggaran belanja pemerintah, dan mengatur Pengadaan Barang/Jasa desa, maka tepat tanggal 30 April 2025 ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang melatarbelakangi lahirnya Perpres 46 tahun 2025, yaitu: 1) Mendorong kebijakan pengadaan dalam rangka meningkatkan penggunaan produk dalam negeri; 2) Mempercepat dan memperluas transformasi digital dalam pengadaan barang/jasa pemerintah; dan 3) Mendukung percepatan program pemerintah, baik program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, dan/atau bantuan presiden berdasarkan arahan Presiden.

Perubahan dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 ini mencerminkan ikhtiar adaptasi terhadap dinamika terbaru dalam kebijakan pembangunan, termasuk pemberdayaan UMKM, peningkatan penggunaan produk dalam negeri, serta penyesuaian proses pengadaan agar lebih responsif dan efisien.

Beberapa perubahan penting dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2025, di antaranya:

1. Perluasan Ruang Lingkup dan Definisi. Hal ini mencakup penambahan frasa “Institusi Lainnya” dan “Pemerintah Desa” serta sumber dana APB Desa dalam ruang lingkup Perpres, disertai penyesuaian beberapa definisi terkait.

2. Penguatan Kebijakan dan Etika. Hal ini mencakup penyesuaian pada kebijakan pengadaan dan penegasan etika, termasuk definisi pertentangan kepentingan yang diperbarui.

3.  Penyesuaian Tugas dan Kewenangan Pelaku Pengadaan. Hal ini mencakup perubahan pada tugas dan kewenangan Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja Pemilihan, dan Agen Pengadaan.

4.  Penyempurnaan Perencanaan dan Persiapan Pengadaan. Hal ini termasuk pengaturan lebih lanjut tentang spesifikasi teknis, pemaketan: termasuk strategi supplied by owner untuk pekerjaan konstruksi, konsolidasi pengadaan, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), jenis dan bentuk kontrak, uang muka, serta jaminan pengadaan.

5.  Modifikasi metode pemilihan dan evaluasi. Hal ini mencakup penyesuaian batasan nilai untuk pengadaan langsung barang/jasa lainnya dan pekerjaan konstruksi, penambahan kriteria keadaan tertentu untuk penunjukan langsung, serta metode evaluasi penawaran.

6.  Penguatan Pengadaan Elektronik. Restrukturisasi bab mengenai pengadaan elektronik, termasuk penyesuaian konsep lokapasar (e-marketplace) dan katalog elektronik, serta perluasan akses katalog elektronik untuk pihak di luar pemerintahan.

7.  Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri. Perubahan signifikan pada ketentuan penggunaan produk dalam negeri, dengan pengaturan berjenjang berdasarkan TKDN dan penambahan kewajiban serta mekanisme pengawasan yang lebih detail.

8.  Penegasan Pengadaan Berkelanjutan. Penambahan aspek pemberian kesempatan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam aspek ekonomi pengadaan berkelanjutan.

9.  Pengaturan Spesifikasi Pengadaan di Desa. Penyisipan bagian dan pasal-pasal baru (Pasal 64A, 64B, 64C di BAB VIII dan BAB XIIA Pasal 85A-85F) yang secara khusus mengatur prinsip, pelaku, metode, dan ketentuan lebih lanjut mengenai Pengadaan Barang/Jasa di Desa.

10.Peningkatan Pengaturan Sumber Daya Manusia Pengadaan. Penyisipan pasal-pasal baru (Pasal 74A dan 74B) yang merinci jenis SDM pengadaan, kewajiban memiliki SDM bersertifikat, tugas serta ketentuan jika jumlah SDM belum mencukupi.

 

Harapan dan Tantangan

Anggaran untuk belanja barang pemerintah setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Pengadaan barang/jasa dalam postur APBN memang memiliki peran penting. Sekitar 30% belanja yang ada di APBN digunakan untuk belanja pengadaan barang dan jasa. Angka ini naik 300% dibandingkan 10 tahun lalu (OkezoneFinance, 5 Desember 2017).

Postur Rancangan APBN 2026 yang disampaikan Menteri Keuangan saat itu Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers tentang RAPBN dan Nota Keuangan di Jakarta pada Jumat (25/08/2025) bahwa untuk belanja negara, tumbuh 7,3 persen dari outlook 2025 menjadi Rp3.786,5 triliun, dengan alokasi besar diarahkan untuk mendukung program prioritas pemerintah. Belanja kementerian/lembaga naik signifikan sebesar 17,5 persen menjadi Rp1.498,3 triliun, sementara belanja non-KL mencapai Rp1.638,2 triliun, naik 18 persen. Dengan porsi belanja negara sebesar itu, maka pemerintah akan membelanjakan sekitar Rp10 triliun per hari. Hal ini tentu akan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian.

Untuk memproses belanja pemerintah yang sangat besar tersebut, para pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah saat ini dituntut terus berbenah, lebih profesional, memiliki pemahaman terhadap tugas dan fungsi dasar sebagai pengelola pengadaan dan yang lebih penting lagi mampu menyerap pesan penting yang tertuang dalam berbagai aturan pengadaan barang/jasa pemerintah. Ada berbagai sumber hukum yang perlu mendapat perhatian pengelola pengadaan selain Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 46 Tahun 2025, di antaranya Undang-undang Keuangan Negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Jasa Konstruksi, Peraturan Perpajakan, Peraturan LKPP, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan aturan terkait lainnya.

Perubahan regulasi lama ke regulasi baru mungkin cara masaknya berbeda dengan sebelumnya, akan tetapi memiliki tujuan yang sama guna memenuhi kebutuhan barang/jasa dengan cara yang lebih baik. Semoga perubahan demi perubahan regulasi ini menjadi angin segar perbaikan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Semoga…



*) Kepala Bagian Pembinaan dan Advokasi PBJ, Sekretaris DPD IAPI Prov. Malut


 

BAGIKAN :



Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin